Tuesday, September 25, 2007

Citizen of the World vs Banjar

Hati menjadi gundah, pikiran menjadi tergugah setelah membaca di harian lokal tentang terjadinya kasus 'kasepekang' di Tabanan. Pelanggarannya adalah karena seorang warga dianggap telah mencemarkan tempat suci/pura dengan cara menggantung sebuah kursi plastik sejajar/lebih tinggi dengan posisi pura itu. Entah ini kasus yang ke berapa kali terjadi di Bali, yang jelas bukan yang pertama kali. Penulis bukanlah ahli hukum adat bukan pula ahli hukum positif namun secara harfiah hukum 'kasepekang' berarti sebuah hukuman/sanksi adat yang diterima oleh seorang/kelompok anggota banjar yang dianggap melanggar norma norma yang berlaku di banjar/desa bersangkutan, dengan jalan orang/kelompok tersebut dikucilkan dari banjar/desa adat setempat, dilarang tinggal di wilayah tersebut, tidak boleh menggunakan fasilitas kuburan dan juga dilarang berkomunikasi atau bersosialisasi dengan anggota banjar lainnya. Hukuman ini jelas jelas tidak bersumber dari hukum positif (KUHP, UU dan lain-lain) yang berlaku di NKRI tapi berdasarkan awig awig/hukum adat yang berlaku di daerah bersangkutan.

Hukum "kasepekang" seakan menjadi sebuah fenomena dalam kehidupan masyarakat Bali yang kental dengan adat istiadat dan nafas Hindunya. Contoh lainnya adalah hukum kasepekang karena melahirkan anak kembar dengan jenis kelamin yang berbeda. Hukum adat ini sudah dihapuskan beberapa waktu lalu oleh pihak terkait (DPD, DPRD). Pertanyaannya sekarang adalah masihkah hukum adat kasepekang ini relevant diterapkan? Tidakkah hukum tersebut bertentangan dengan hukum positif? Apakah pelaksanaannya sudah murni dan tidak melenceng dari ajaran Agama Hindu?

Sungguh suatu hal yang tidak masuk akal rasanya jika pada penerapan hukum adat kesepekang di Tabanan, muncul sebuah syarat yang terlalu komersil, denda 200 juta rupiah jika ingin diterima kembali sebagai anggota masyarakat disana, juga ada denda 500 ribu rupiah bagi siapa saja warga banjar yang berkomunikasi dengan 'terpidana' ini. Darimanakah sumber hukum adat yang menyatakan denda 200 juta ini? Sungguh tidak murni. Seharusnya sebuah sanksi, apapun itu, bersifat mendidik dan meluruskan apa-apa yang telah dilanggar. Jika sampai dendanya ratusan juta, itu keterlaluan. Dimanakah unsur mendidiknya? Dimanakah unsur meluruskannya. KOk yang terjadi malah kesan dimanfaatkannya hukum adat ini sebagai ajang balas dendam dan memupuk rasa kebencian. Seharusnya semua didiskusikan dulu dengan Majelis Desa Pekraman, atau dengan pemda setempat, atau dengan PHDI. Jika tidak ada penyelesaian bisa juga ditempuh jalur hukum positif.

Gampangnya penerapan hukum ini sewaktu waktu bisa menjadi bumerang bagi masyarakat Bali dengan adat-istiadatnya yang bernafaskan Hindu. JIka begitu mudahnya menerapkan hukum kasepekang, bukan tidak mungkin akan berakibat menurunnya nilai nilai adat itu sendiri, yang sudah dianggap tidak lagi bersifat mengayomi. Masyarakat akan menjadi apriori. Banjar dengan hukum2 adat yang kaku seolah olah menjadi sebuah momok yang menakutkan. Banjar tidak lagi menjadi sebuah oraganisasi yang bermakna apa apa, dengan kata lain, menjadi warga dunia saja atau bahasa bulenya citizen of the world. Itulah sebabnya perlu tindakan dari pihak2 terkait dalam upaya meluruskan hukum hukum adat yang bersifat terlalu frontal. PHDI harus memberikan semacam guidance yang jelas tentang penerapan hal ini. Jangan sampai adat dijadikan sebuah excuse untuk melegalkan hukuman apa saja tanpa minghiraukan hukum positif dan hak asasi manusia.

1 comment:

Anonymous said...

Bali Post, Senin Kliwon, 15 Oktober 2007

Keputusan Pasamuhan Agung MDP ....
"Kasepekang" tak Boleh Diberlakukan Lagi

Kasus kasepekang (pengucilan-red) yang menimpa sejumlah warga di sejumlah desa pakraman di Bali, telah menuai keprihatinan banyak pihak. Betapa tidak, di zaman global yang konon ditandai dengan suasana demokratis, masih ada penerapan sanksi seperti itu dalam penyelesaian masalah. Tak pelak, lembaga adat semacam Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali pun tergerak menggelar Pasamuhan Agung II di Wantilan Pura Samuan Tiga, Gianyar, Jumat (12/10) lalu. Apa saja hasilnya?

SEJUMLAH keputusan dan rekomendasi yang sangat konstruktif dalam menegakkan eksistensi desa pakraman ke depan berhasil disepakati. Salah satu dari sejumlah keputusan penting itu adalah adanya kesepakatan agar sanksi kasepekang yang selama ini seringkali dijatuhkan kepada krama yang dinilai melakukan pelanggaran adat, tidak boleh diberlakukan lagi sampai ada keputusan dari pasamuhan agung selanjutnya.

Kepada Bali Post, Nayaka MDP Bali IDG Ngurah Swastha, S.H. dan Ketua Panitia Pasamuhan Agung II MDP Bali I Wayan Putu Suwena, S.H. membenarkan adanya keputusan yang melarang penjatuhan sanksi kasepekang itu. Pada pasamuhan yang melibatkan sekitar 150 bendesa pakraman se-Bali itu juga disepakati adanya peninjauan kembali terhadap besaran denda yang dibebankan kepada para pelanggar ketentuan adat yang terkesan sangat memberatkan. Bahkan, ada desa pakraman yang menetapkan besaran denda mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Sanksi seperti itu dinilai sangat tidak manusiawi dan tidak logis serta menutup kesempatan bagi krama yang melakukan pelanggaran untuk memperbaiki diri.

"Apa pun bentuknya, sanksi yang dijatuhkan itu harus bersifat mendidik, menyadarkan dan memberi kesempatan bagi krama untuk memperbaiki kesalahannya. Sanksi itu tidak boleh memvonis mati atau menutup kesempatan orang untuk memperbaiki diri," kata Swastha yang dibenarkan Suwena.

Swastha dan Suwena menambahkan, penjatuhan sanksi adat juga diputuskan tidak boleh menyentuh ranah hubungan antara umat dengan Tuhan. Dengan kata lain, pelarangan bagi krama untuk sembahyang ke pura tidak boleh lagi diterapkan karena hal itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Yang tak kalah pentingnya, pada pasamuhan agung itu juga disepakati adanya semacam pemberian "hak banding" kepada pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap penyelesaian sebuah perselisihan di bidang adat. Krama yang keberatan dengan keputusan di tingkat desa pakraman bisa mengajukan banding ke tingkat Majelis Alitan (MDP Kecamatan) atau Kertha Desa. Ketika keputusan di tingkat itu tetap tidak memuaskan, mereka bisa mencari keadilan di tingkat Majelis Madya/Kertha Madya dan seterusnya hingga ke tingkat Majelis Utama/Kertha Utama.

"Di tingkat Majelis Utama, keputusan merupakan keputusan final dan bersifat mengikat. Keputusan puncak itu akan disampaikan kepada pemerintah dari jenjang kecamatan hingga propinsi maupun lembaga terkait seperti kepolisian dan sebagainya agar dihormati. Dalam penjatuhan sanksi yang sifatnya berat, juga wajib melewati prosedur tertentu seperti peringatan I, II dan seterusnya atau penjatuhan sanksi tidak bersifat serta merta," tegas Swastha.

Suwena menambahkan, Pasamuhan Agung II MDP Bali yang dibuka Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi Bali Drs. I Nyoman Nikanaya, M.M. mewakili Gubernur Bali, sebenarnya menghasilkan sejumlah keputusan dan rekomendasi. Namun, kata dia, draf keputusan maupun rekomendasi itu sedang disusun oleh tim perumus sehingga hal itu belum bisa dipaparkan secara gamblang. "Kalau semuanya sudah final, semuanya pasti saya paparkan kepada pers untuk selanjutnya disebarluaskan kepada publik," ujarnya. (ian)